Menjelang Putaran Dua

Saya mau mencoba melihat mslh Pilgub DKI kali ini dari sudut pandang yang berbeda. Honestly I am taking a risk writing this; karena saya akan bicara ttg politik dan agama sementara pengetahuan saya tentang kedua topik ini tidak lebih tinggi bahkan mungkin lebih rendah daripada rata2 yang membaca. Tapi saya menulis ini dgn mempertimbangkan posisi saya sbg bagian dari masyarakat Indonesia yang plural dan dengan semangat kebhinekaan.

Bukan rahasia lagi siapa yang saya dukung dan pilih untuk jadi Gubernur DkI; saya ada bersama Basuki-Djarot (BaDja) sejak awal. Saya bisa ungkapkan banyak alasan atas pilihan saya tersebut tetapi this isn't about that anymore. This is about what I think BaDja bisa lakukan untuk memastikan Putaran 2 ada di tangan.

Saya kenal dekat dengan banyak relawan BaDja; bahkan tergabung di salah satu group relawan BaDja. Demi mendongkrak suara di Putaran 2 nanti, para relawan sepakat untuk menghindari topik agama di mana saat ini Pak Basuki tengah terlilit masalah. Mslh agama ini dianggap sebagai mslh sensitif dan spt bomb waktu, would do more damage to Pak Basuki atau Ahok than to help win more voters. Awalnya saya setuju; takut kehilangan suara. But then it got me to think. Kenapa takut kehilangan suara? Bukankah 'Ahokers' adalah 'die-hard fans'? Knp justru takut kehilangan suara mereka? Yang kita mau justru menambah suara dan kita hrs cari cara utk dpt suara lagi. Dan dari mana kita bisa dapat suara tambahan, tentunya dari mereka yang pada Putaran 1 kemarin TIDAK memilih BaDja. Dan untuk itu saya beranikan diri melihat dari sudut pandang yang berbeda bila tidak bisa dibilang nekat.

Saya mencoba melihat irisan yang besar antara Politik dan Agama; sesuatu yang justru saat ini dianggap tabu oleh sebagian besar relawan dan pedukung BaDja dengan alasan yang saya sebutkan barusan. Tetapi sebenarnya politik dan agama sangat sulit dipisahkan satu dengan yang lainnya. Politics is all about one’s well-being when living in this life, and religion is all about one’s well-being in the life to come (Bradshaw, 2014). Politik berurusan dengan aktivitas duniawi kita, dan agama berurusan dengan aktivitas surgawi kita; begitu kira-kira pemahaman bebas saya dari kalimat barusan. Dan in reality, tindakan duniawi sehari-hari mana yang TIDAK dipengaruhi oleh urusan surgawi? From something as simple as choosing what to wear and what to eat, to much more complex things such as who we want as governor. There can never be a true separation between state and religion. So in my humble opinion, we couldn’t really shun religion when discussing about state matters and politics, could we? And so we shouldn’t. We just need to be smart about it.

Yang jadi masalah saat ini adalah munculnya para agamawan yang menggerakan umat mereka untuk dijadikan komoditas politik oleh pihak terentu demi meraup suara dan memenangkan kepentingan kelompok mereka sendiri. And not surprisingly, it worked! In a massive scale, it worked. This actually membuktikan bahwa agamawan dan politisi sebenarnya memiliki fungsi peran yang sangat mirip; sama-sama memiliki posisi prominent atas umat / masyarakat.

Sosok agamawan yang saat ini lantang bersuara dan sangat didengarkan umat bukanlah sosok agamawan yang melek, cerdas, dan cakap berpolitik. Mereka hanya paham akan kekuatan besar dibalik jumlah besar umat, yang mereka ijinkan untuk ditunggangi demi kepentingan politik kelompok tertentu. They use it for their own advantage and for whoever is the highest bidder of their service. And one thing for sure; para agamawan ini tahu betul bagaimana mendapatkan perhatian para umat; mereka tahu gaya bicara dan bahasa seperti apa yang akan mengikat perhatian sebanyak-banyaknya orang. Dan saat sudah mendapatkan perhatian, mereka bisa bicara apa pun yang mereka inginkan and people would still listen to them. It’s a classic case of bombastic language.

Damage is already done; Ahok adalah penista agama. Mulai muncul agamawan-2 lain yang mencoba memperbaiki keadaan dengan cara yang sangat terpelajar dan santun. Mereka mencoba re-edukasi dan mengembalikan ribuan umat ke jalan yang benar. Mereka muncul dengan cara yang sangat baik seperti yang seharusnya dilakukan seseorang agamawan yang terpelajar; tetapi sayangnya bukan cara yang TEPAT karena terbukti tidak efektif. They failed to get the message across. Why so; because they don’t speak the language. Para umat yang keburu dapat ajaran salah kaprah sudah terbiasa dengan bahasa bombastis. Ibaratnya, kalau kuping sudah terbiasa dengan suara ledakan kembang api, maka suara letupan petasan banting tidak lagi akan menarik perhatian.

Di sinilah muncul kebutuhan agamawan yang melek, cerdas, dan cakap politik. Agamawan yang paham akan pentingnya menjaga kesakralan agamanya sambil menjadikan agamanya sebagai suatu spirit membangun sistem politik yang berkualitas, berkeadilan dan mensejahterakan umatnya sebagai bagian dari masyarakat umum. Dan most importantly, agamawan yang bisa bersuara selantang ledakan kembang api di malam tahun baru. Loud enough to turn people’s attention away from whoever it is they are listening to at the moment and start listening to a new figure. Once you have the audience, then you can start singing your head off. But get the audience's attention first! After that, the stage is yours. Asal jangan mulai moshing, karena terbukti juga tidak efektif.

A friend of mine shared with me this adage: kejahatan yang terorganisir akan menang melawan kebaikan yang tidak terorganisir. Terorganisir di sini bisa dalam arti cara yang tepat dan efektif agar tujuan tercapat, bukan jadinya menghalalkan segala cara. Therefore, I believe if we want to round up more voters for BaDja untuk Putaran 2 tgl 19 April nanti, we need to tap right into the heart of this matter, which is religion.

We need to explore into this rather dangerous territory but with an entirely new perspective, method and equiptment. It’s a very risky action to take; but it’s even riskier not to take this action. Once again, kita bukan lagi harus menjaga jangan sampai kehilangan suara untuk Basuki-Djarot, tetapi justru kita harus mengambil suara dari pihak lawan. We just need to know how.

#PerjuanganBelumSelesai


Comments

Popular posts from this blog

I do not breastfeed my babies, but I am a GOOD mother.

Covering Up

Sirkel Op Laip