Let's Get Personal

Melihat lini masa dan berita di dunia socmed yang beredar beberapa hari ini, saya lihat hampir semua orang sedang melakukan hal yang hampir sama; baik pendukung Basuki-Djarot maupun Anies-Sandi sedang mencari cara terbaik untuk mendulang suara terbanyak di Putaran Dua 19 April 2017 nanti.

Bila sebelum Putaran Satu, semua orang mendadak jadi ahli tafsir kitab; maka menjelang Putaran Dua semua orang mendadak jadi strategist alias ahli strategi. Semua orang mendadak punya ide brilian bagaimana memenangkan Putaran Dua nanti. Some suggestions are quite authentic and brilliant, while few others can be pretty laughable. 

For example, ada ‘Ahoker’ yang langsung mencanangkan gerakan ‘anti-bully AHY’; katanya biar pendukungnya lihat betapa santunnya Ahokers sehingga di Putaran Dua nanti mereka akan milih Ahok. Memangnya Anda pikir para pendukung AHY-Silvy begitu naïve? Dikasih senyum dan AHY dipuji bersikap ksatria lantas tiba-tiba para pendukungnya langsung coblos Nomer Dua?

Ada yang langsung mengarahkan lampu sorot dan kaca pembesar ke Anies-Sandi; segala sesuatu tentang mereka dibesar-besarkan. Memangnya Anda pikir pendukung Anies-Sandi itu peduli dengan program OKE OCE atau DP rumah yang entah 0% atau Rp.0,-? Believe me, looking at the type of individuals who are supporting Anies-Sandi, sebagian besar dari mereka tidak peduli pada program; they are rooting for Anies-Sandi for entirely different reasons and purposes.

Ada yang juga mencoba langkah reflektif menganalisa kenapa BaDja gagal menang di Putaran Satu. Ada yang mendadak kecewa pada sosok Ahok yang keras kepala dan kerap blunder dengan ucapan-ucapan kontroversialnya, bahkan went back as far as to the beginning of the Al-Maidah case; ini semua gara-gara Ahok tidak bisa jaga mulut. Ada yang kesal karena Basuki-Djarot memgembalikan sisa dana kampanye ke negara sementara relawan morat marit di lapangan.

Ada yang marah-marah karena merasa sudah ribuan kali posting tentang hasil nyata kerja BaDja di Jakarta, tetapi kenapa tetap saja gagal move on dari label ‘Ahok Penista Agama’ dan tidak mau berpaling dari motto ‘ABA’ alias ‘Asal Bukan Ahok’? Come on, read between the lines there. This isn’t about Basuki-Djarot anymore, there is a much bigger power at play here and it is beyond our control.

And yet, semua orang masih seru berlomba-lomba menganalisa dan melemparkan ide-ide strategis demi Paslon yang didukungnya menang. So what does it mean? It means WE are in a competition. Bukan lagi hanya para Paslon yang berkompetisi tetapi we as citizens are competing against each other. And every competition is a zero sum game. In order for you to win, someone else must lose.

Kelemahan dari perilaku yang didasari semangat kompetisi adalah sifatnya yang temporary, because  a competition is what psychologists call an ‘extrinsic incentive’. We do things simply to win and make our opponent lose. And hal ini membuka peluang kita untuk menghalalkan segala cara; ‘AKM’ alias ‘Asal Kita Menang’. Saat ini kita sudah lihat indikasi ‘AKM’ yang amat sangat kencang yaitu dengan banyaknya berita hoax, black campaign, spreading lies and rumours, saling mengejek dan menjatuhkan. Sudah sampai pada tahap tidak sehat dan merusak jalinan silaturahmi antar sesama anggota masyarakat. Silakan hitung sendiri berapa banyak teman anda di socmed yang Anda unfollow, unfriend, bahkan block.

Ultimately, we as individuals stray further away from our very own ‘intrinsic motivation’; yaitu motivasi perilaku yang datang dari dalam diri sendiri. Salah satu intrinsic motivation adalah conviction atau Keyakinan Diri. Conviction atau Keyakinan Diri derajatnya lebih tinggi daripada Confidence atau Kepercayaan Diri. If your behavior has conviction, it will embody your deeper personal values. Keyakinan diri membuat kita tidak lagi terusik oleh ketidakpastian yang di luar kendali kita.

Saya pribadi mulai mencoba kembali mengingat intrinsic motivation saya mendukung Basuki-Djarot. What do they mean to me? Why did I support them in the first place? Why did I want THEM to win over their opponent, and not ME winning over my fellow citizens? And perhaps if I could get in touch with my personal beliefs and conviction on why Basuki-Djarot is the best candidate to vote for, I would be able to share a more sincere and personal argument to other people. I would be able to relate to others on a more personal level; I would not see them as a threat to my well-being, nor me to theirs. Saya akan lebih mudah mendengarkan mereka, begitu pula sebaliknya.

Kemarin saya menulis tentang perlunya para relawan pendukung Basuki-Djarot merambah ke teritori yang berbeda untuk bisa mengambil suara dari pihak lawan, apalagi setelah kekalahan AHY-Silvy. Kita harus punya strategi sebagai satu entitas pendukung BaDja menghadapi entitas pendukung Anies-Sandi. Untuk itu teori mass communication yang dibutuhkan.

Saya juga melihat pentingnya bagi masing-masing dari kita merambah ke teritori yang lebih personal agar kita siap berhadapan dengan pendukung Anies-Sandi juga secara personal. Sebagai psikolog, saya meyakini bahwa perubahan harus datang dari dalam diri sendiri. Jadi bila saya ingin mengubah perilaku seseorang, saya harus bisa bersentuhan dengan orang tersebut dalam level yang lebih personal.

“If you know the enemy and know yourself, you need not fear the result of a hundred battles. If you know yourself but not the enemy, for every victory gained you will also suffer a defeat. If you know neither the enemy nor yourself, you will succumb in every battle.” 
 
Sun Tzu, The Art of War

#PerjuanganBelumSelesai

Comments

Popular posts from this blog

I do not breastfeed my babies, but I am a GOOD mother.

Covering Up

Sirkel Op Laip